AR. Fachruddin; Sosok yang Kita Rindukan

Terutama di kalangan Muhammadiyah, sosok Kiai Haji Abdur Rozzaq Fachruddin (AR Fachruddin) tentu tak asing lagi. Beliau pernah menjabat sebagi Ketua Umum Muhammadiyah selama 22 tahun (1968-1990). AR Fachruddin, yang akrab dipanggil Pak AR,  adalah ulama besar yang bersahaja. Beliau juga seorang tokoh yang sangat peduli terhadap orang lain. Sikap-sikapnya ini adalah cerminan dari ketakwaan beliau kepada Allah Swt. Segala hal yang ia lakukan senantiasa didasarkan atas keimanan kepada Allah.

Diceritakan, bahwa setiapkali akan bepergian cukup lama, beliau selalu mengatakan pada istrinya,”Aku arep lunga nang kene semene dina, kowe tak pasrahake Gusti Allah (saya akan pergi sekian hari, kamu saya titipkan pada Allah,“ tutur Siti Qomariah, istri Pak AR yang selalu setia mendampinginya. Pak AR mengatakan ini tentu saja setelah kewajibannya kepada keluarga dipenuhi. Kata-kata Pak AR ini adalah ekspresi ketawakalan beliau kepada Allah Swt.

Pak AR adalah juga sosok yang bijak. Ia sangat berhati-hati dalam sikap dan perkataannya untuk tidak menyinggung orang lain. Di mata anak-anaknya, Pak AR adalah sosok ayah teladan. “Bapak tidak pernah marah kepada kami dan kepada orang lain,” tutur Nyi Zahanah, anak ketiga Pak AR. Hal yang sama juga diungkapkan Farchan, anak kelima yang bekerja di BKPM Jakarta. Menurutnya, sang ayah selalu menggunakan kata-kata bijak, kadang-kadang diselingi humor, saat menasihati anak-anaknya.

Pak AR yang jumlah keluarganya besar itu tidak memiliki rumah pribadi. Rumah cukup besar di jalan Cik Di Tiro yang ia tinggali ternyata bukan miliki pribadi. Rumah itu adalah milik Muhammadiyah. Sejak tahun 1952 Pak AR dan keluarganya menempati rumah sewa di Kauman nomor 260 milik H. Abdullah. Rumah sewaan itu sangat sempit dan terletak di lorong yang sempit. Para pengurus Muhammadiyah tak sampai hati melihat kondisi itu. Apalagi saat itu Pak AR adalah seorang Ketua Muhammadiyah. Akhirnya mereka meminta Pak AR untuk menempati rumah di Jalan Cik Di Tiro.

Bersamaan dengan tawaran itu datang pula tawaran dari keluarga Prawiroyuwono agar Pak AR dan keluarganya menempati rumah di Taman Yuwono. Namun Pak AR memilih rumah yang ditawarkan oleh para pengurus Muhammadiyah. Sebelumnya Pak AR sebenarnya sudah berupaya untuk membeli rumah sendiri. Sewaktu menjabat Kepala Kantor Penerangan Agama Provinsi Jawa Tengah di Semarang, Pak AR mengangsur rumah kecil di suatu kompleks. Namun, setelah rumah itu hampir lunas, Pak AR ternyata terkena tipu developer. Yang mengagumkan, waktu istrinya menanyainya tentang hal itu, Pak AR menjawab,”Sudah, tak usah dipikirkan, nanti akan dapat ganti rumah yang lebih bagus di surga.”

Sewaktu menjabat menjadi Kepala Kantor Penerangan Agama Provinsi DIY (1964-1972) sebenarnya Pak AR juga mendapatkan kesempatan untuk memperoleh rumah pribadi.  Bersama pegawai Kepatihan yang lain, Pak AR berhak mendapat kapling tanah di komplek Colombo. Akan tetapi saat itu ada salah seorang anak buahnya yang memintanya. Akhirnya Pak AR memberikannya kepada anak buahnya. Pak AR mengatakan pada istrinya bahwa orang itu lebih membutuhkan.

Rumah di jalan Cik Di Tiro 17 A Yogyakarta dihuni 14 orang termasuk menantu, cucu, dan dua orang yang ngekos. Bersama dengan seluruh keluarganya, Pak AR senantiasa membiasakan salat berjamaah. Terkadang Pak AR yang menjadi imam dan tak jarang pula ia menjadi makmum, sementara yang mengimami anak-anaknya atau anak kos. Sehabis salat Pak AR selalu memberikan kultum. Bahkan, dalam keadaan sakit pun Pak AR tak pernah meninggalkan jamaah, sembari sambil duduk atau pun berbaring.

Kian hari Pak AR Fachruddin semakin bertambah umur, kesehatannya pun terus menurun. Saat itu Pak AR sempat dirawat di PKU Muhammadiyah Yogyakarta karena terserang stroke. Beliau juga sempat berobat ke rumah sakit Lins of Wales, Sidney, Australia pada 12 Desember 1994 karena sakit vertigo. Terutama sejak menderita sakit vertigo, Siti Qomariah tidak tega melepas Pak AR pergi ke luar kota sendirian. Ia dengan setia mendampingi suaminya, termasuk ketika Pak AR harus berbaring di rumah sakit Jakarta (RSIJ) sejak tanggal 1 hingga 17 Maret 1995. Kian hari kondisi kesehatan Pak AR kian memburuk. Dokter yang menangani Pak AR terus berkomunikasi dengan Sutrisno Muhdam, putera menantunya dan dengan pihak keluarga yang lain. Pada hari Jumat 17 Maret 1995 dini hari pukul 01.00 WIB, Pak AR mengalami masa kritis dan akhirnya Allah berkenan memanggil beliau. Allahummaghfir lahu, warhamhu.[F]

 

Rasulullah saw bersabda: “Pada hari kiamat akan ditimbang tinta ulama dengan darah para syuhada’, maka tinta ulama lebih berat dari darah para syuhada” (Al-Hadits)