Ki Bagus Hadikusumo; Teguh dan Bersahaja
Lahir hari Senin Pahing 11 Rabiul Akhir tahun Ehe 1308 bertepatan dengan tanggal 24 November 1890 dari keluarga Priyayi-Santri Kauman Yogyakarta, putra keempat dari delapan bersaudara. Ayahnya, Raden Kaji Lurah Hasyim, adalah seorang Abdhi Dalem Kesultanan Yogyakarta. Sejak kecil Ki Bagus dididik dan tumbuh sebagai seorang yang sangat bersahaja/sederhana secara ekonomi dan juga secara sosial. Dia tidak suka publisitas apalagi menyangkut pribadi.
Dia juga dikenal sebagai seorang yang disiplin, teguh pendirian, tulus, siap berkorban dan siap menanggung resiko untuk kepentingan umum. Hal ini tercatat dalam lembar sejarah, Visi untuk kepentingan umum dan kenegarawanannya terlihat jelas saat ia menyetujui usulan formulasi sila pertama Pancasila,”Ketuhanan yang Maha Esa” yang tadinya berbunyi,”Ketuhanan yang Maha Esa dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya”. Tidak mudah baginya untuk meloloskan kalimat ini. Namun situasi saat itu sungguh genting, sehingga ia berbesar hati demi kesatuan dan persatuan bangsa ini.
Ki Bagus juga dikenal sebagai ulama kharismatik anti penjajah dan memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi, pemberani yang teguh memegang ajaran agama. Saat ulama dan tokoh-tokoh lain diam, ia secara terang-terangan menentang perintah pimpinan tentara Dai Nippon yang mewajibkan masyarakat melakukan penghormatan kepada Dewa Matahari (seikirei). Ia menentang perintah ini karena jelas bertentangan dengan akidah Islam sekaligus merendahkan martabat bangsa.
Saat Agresi Belanda di Yogya pada 21 Juli 1947, ia bersama para ulama mengadakan rapat dan membuka markas di Masjid Taqwa, Kampung Suranatan, Yogyakarta. Dalam rapat, selain membahas tentang strategi juga diadakan persiapan perang. Pertemuan dihadiri oleh Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Mahfudz, K.H. Hadjid, K.H. Badawi, Jenderal Sarbini, K.H. Abdul Aziz, K.H. Johar, dan K.H. Juremi. Pertemuan berhasil membentuk Angkatan Perang Sabil (APS). Ki Bagus Hadikusumo mempunyai peran penting dalam APS ini. Di samping sebagai pendiri, ia juga menjadi penasihat dalam APS. Kejadan ini dilaporkan kepada Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sudirman, Panglima TKR (Tentara Keamanan Rakyat).
Ki Bagus Hadikusumo menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah selama 11 tahun (1942-1953) dan wafat pada usia 64 tahun. Meski telah wafat, keberanian dan kesahajaannya masih kita butuhkan hingga hari ini, terlebih di tengah elite yang hidup dalam kemewahan dan gelimang harta. Inilah ucapan beliau yang diungkap kembali oleh anaknya, Djarnawi Hadikusumo: “Kalau engkau hendak mencari pemimpin sejati ikhlas lahir batin, perhatikanlah dahulu dapur rumahnya dan cara hidupnya sebelum memperhatikan dia penuh dari segi-segi lainnya. Jika engkau lihat dapurnya penuh santapan yang enak dan cara hidupnya yang mewah, hentikanlah penyelidikanmu karena sudah jelas dia bukan pemimpin sejati. Sebab pemimpin sejati tidak mungkin suka hidup mewah. Banyak pemimpin yang mengatakan bahwa kemegahan dan kemewahan itu perlu untuk menjaga standing bangsa dan negara kita di mata dunia internasional, tetapi perkataan itu adalah alasan yang dibuat-buat, sebab di rumah tangga yang terpisah dari dunia internasional mereka suka mewah dan megah juga.” [F]